index

A BOOK PRESENTATION IN BANDUNG


Photo cover: Marianne König.






At the occasion of the presentation of ‘Berlin Proposal’, the new poetry book by Jakarta-based author Afrizal Malna, publisher Nuansa Cendikia and other organizations planned a cultural event in bookstore Toga Mas on Jalan Buah Batu 178 in Bandung on August 15th.
In order of appearance the participants were: the publisher; Taufik Darwis; Medina; Sartika Dian Nuraini; Adinda Lufthianti; Afrizal Malna; Ari Yogaiswara Adipurwawidjana; Kurniasih; Agung Hujatnika Jenong; Hanafi, Lawe SamagaHa & Romy Jaya Saputra; Wail Irsyad & Sugianti Ariani; Siti Wahyuningsih & Albert Hagenaars; and Afrizal Malna once again to conclude the program.






 The publisher, Pak Taufan Hidayat.







Moderator Taufik Darwis. Photo: © Siti Wahyuningsih.







Medina. Photo: © Siti Wahyuningsih.







Sartika Dian Nuraini. Photo: © Siti Wahyuningsih.







Adinda Lufthianti. Photo: © Siti Wahyuningsih.







Afrizal Malna, born in Jakarta in 1957, is not only active in poetry; he also writes prose and theatre texts. He studied at the Driyakara College of Philosophy and also allows influence by “the chaos of international urban culture”. Therefore he describes his poems as “a visual grammar of things”. His work was translated in a.o. Dutch, English, German and Portuguese. He was awarded several times, for example by RNW (Radio Netherlands Worldwide). Thanks to DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst / German Academic Exchange Service) he spent quite some time in Berlin as a writer in residence. Some of his titles are: ‘Museum Penghancur Dokumen’, ‘Kepada Apakah’, ‘Anxiety Myths’ and ‘druckmaschine drittmensch’.
Photo: © Siti Wahyuningsih.



















The poem ‘Altar Pergamon’ / ‘The Pergamon Altar’.







Ari Yogaiswara Adipurwawidjana, representing Department of English, Department of Literature and Cultural Studies, Faculty of Arts, University Padjadjaran, Sumedang, Bandung. Photo: © Sartika Dian Nuraini.









YA, OMEGA, DAN ZET ENDING WITH [...]:
ASEMIC WRITING AND CONCRETE POETRY IN THE SATURATION OF LITERATE CULTURE

Lecture by Ari J. Adipurwawidjana
ي
Ya.

Finally
Finally we have come to the point where all the letters we have inscribed in clay tablets, scratched in leaves, engraved in stone, and tainted on papyrus and paper—we have buried in five millenia’s worth of sedimentary and mineral layers, piled in cardboard boxes we safekeep in our archives, organized in folders; we disintegrate and recondense into 0101010 in our discs and electronic devices disseminating and dispersing them in electromagnetic waves in the atmosphere and metal and fibre-optic cables saturating the civilization we have built. In this wilderness we find ourselves lost in the simulacra of images and script on screens and leaves—which we hold and which house us like the celestial hemisphere which pretends to safeguard us from cosmic debris that might have gone astray in our direction.

Click here fore more / Klik disini untuk selanjutnya

Click here for the Indonesian version / Klik disini untuk versi Bahasa Indonesia






Kurniasih, from Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni, University Sanata Dharma in Yogyakarta. Photo: © Sartika Dian Nuraini.








CATATAN PERENUNGAN BERLIN PROPOSAL

Oleh Kurniasih

Buku Afrizal yang dikirim lewat paket Tiki saya terima ketika tangan ini terasa begitu kering karena terkena debu-debu saat tengah mengepak barang-barang. Tumpukkan buku, kertas-kertas bekas, perabot wadah makanan, printer, yang kesemuanya mengandung debu karena tidak pernah sempat dibersihkan. Saya tengah beres-beres seluruh barang untuk dipindah ke kos baru. Bungkusan plastik yang berlapis saya lepaskan dari tubuh buku yang sudah saya nantikan itu. Saya tidak pernah membayangkan akan memegang buku itu secara khusus seperti ini, untuk dibicarakan di acara bedah bukunya.

Click here for more / Klik disini untuk selanjutnya





Agung Hujatnikajennong, Kurator Seni Rupa, dosen Inter Media ITB. Photo: © Sartika Dian Nuraini.







PUISI [AFRIZAL] DAN TUBUH [SAYA]

Oleh Agung Hujatnikajennong

Saya berbicara di sini semata-mata karena saya menyukai puisi-puisi Afrizal Malna. Tapi jangan nanya wacana atau teori apa yang membuat saya menyukainya karena saya bukan seorang kritikus apalagi penelaah sastra. Sampai detik ini saya tidak/belum tertarik membaca telah ataupun teori yang bisa membantu saya memahani puisi-puisi Afrizal. Saya hanya percaya, seperti yang puisi-puisi Afrizal ajarkan, bahwa ada keterlibatan pengalaman / tubuh saya yang menyebabkan saya merasa memiliki keterhubungan dengan karya-karyanya. Seperti rasa cinta antar-remaja / ABG yang tak selalu bisa terjelaskan, kenikmatan saya membaca puisi-puisi Afrizal biarlah tetap menjadi pengalaman yang korporeal, yang terkadang lebih menyenangkan ketimbang elaborasi intelektual.
Tahun 1996, saya membeli buku puisi Afrizal Malna, Arsitektur Hujan di depan Masjid Salman ITB. Mula-mula saya tertarik hanya karena sampulnya menampilkan foto instalasi Agus Suwage. Tapi sesekali saya juga iseng membaca puisi-puisi di dalamnnya, terutama setelah capek menyelesaikan tugas-tugas kampus. Pada beberapa puisi, terutama ‘Orang-orang Jam 7 Pagi’, ‘Cucian Kotor Suatu Pagi’, ‘Kesibukan Membakar Sampah’, ‘Pulo Gadung dari Peta 15 Menit’, ‘Liburan Keluarga dan Pipa-pipa Air’, saya seperti menemukan diri dan pengalaman saya.

Click here for more / Klik disini untuk selanjutnya






Forum discussion. Photo: © Sartika Dian Nuraini.







Artist Hanafi, improvising on Malna’s poem ‘Tektonik digital’. Photo: © Albert Hagenaars.








The poem ‘Tektonik digital’.







Artist Lawe SamagaHa presenting his musical translation of the first poem in the book: ‘Memotret cermin’ (‘Photographing a mirror’). Photo: © Albert Hagenaars.








Wail Irsyad & Sugianti Ariani, during their dramatic dialogue after Malna’s poem ‘Kaldera’. Photo: © Siti Wahyuningsih.








Siti Wahyuningsih and Albert Hagenaars, explaining some of the difficulties they had translating Malna’s poety into Dutch. Their translations were performed at the Maastricht Poetry Nights Festival in 2014 and published on Transito as well as in the Dutch literary magazine Terras, no. 8, 2015. Photo: © Sartika Dian Nuraini.









BEBERAPA PENGALAMAN KHUSUS DALAM MENTERJEMAHKAN PUISI AFRIZAL MALNA

Oleh Siti Wahyuningsih dan Albert Hagenaars

Selamat sore bapak-bapak ibu-ibu, nama saya Albert Hagenaars dan nama isteri saya Siti Wahyuningsih. Kami merasa terhormat bisa berdiri disini untuk partisipasi dalam presentasi buku ini. Kami datang dari Belanda dan kami telah menterjemahkan beberapa puisi Pak Afrizal ke dalam bahasa Belanda. Tiga dari semua puisi yang kami terjemahkan sekarang juga berada di buku barunya.
Beberapa tahun terakhir ini kami sibuk dengan blog yang kami khususkan untuk terjemahan puisi Belanda dan Flandria dari seratus tahun yang terakhir ke dalam bahasa Indonesia. Nama blog ini adalah 'Suara suara dari utara'. Kami menterjemahkan empat puisi dalam satu bulan dan kami telah menyelesaikan lebih dari seratus puisi.
Perlu diketahui bahwa Siti yang berandil dalam interpretasi Indonesia dan saya meluruskan khususnya pada komposisi di bahasa Belanda.
Kemudian kami mulai menterjemahkan sebaliknya, puisi Indonesia ke dalam bahasa Belanda yang dipublikasikan pada blog Transito. Kami telah menterjemahkan karya dari seperti Landung Simatupang, Sitor Situmorang, Chairil Anwar, Ratri Ninditya dan, tentu saja, Pak Afrizal.
Click here for more / Klik disini untuk selanjutnya





With poet/publisher Mathori A. Elwa. Photo: © Siti Wahyuningsih.










BERLIJNS VOORSTEL

Neon in de kerker van het licht, pleisterwerk onttrekt
de gebouwen aan het zicht, lijven worden aangevreten
door beesten. Berlijn, Parijs, Londen ─ vegen de kaarten
van het modernisme leeg ─ Moskou, Zürich, New York,
ik wis de Eerste Wereldoorlog uit, tussen Surrealisme
en Dada ─ brood dat het graanveld opheft, Expressionisme,
ach Marxisme. Hoor jij het stampen van de afzegpers,
die vet drukt, vetter, steeds maar vetter? Wie is de ontwerper
van een oorlog met een pistool gedoopt in filosofie,
de versnipperaar van betekenis in de poëzie, ik laat het niet
doorgaan. Wie voorziet de lading van een mechanisme,
wie speelt de spelletjes van links en rechts, wie stuurt de duistere
geldstromen naar Zürich? De ideologie achter olievelden,
steenkool, uranium houdt de industrieën gaande. Wie is de bedenker
van de Tweede Wereldoorlog? Ik laat de tegenstelling
Moskou ─ New York verdwijnen, trek het stiksel los
dat deze stad splitst. Ik stuur containers vol pop-art,
Flower-Power jongeren en Post-Modernisme af op alle geledingen
van de consumptiemaatschappij.Vermaak miljoenen lijken
in de uitgebreide musea van de historie. Misleid de tijd onder de resten
van de monumenten van de oplichterij. De stilte in Hesses opslagplaats
vervaagt de foto's met Monroes zelfmoord. Wie ooit de scheiding
tussen west en oost teweegbracht, schakel ik uit. Woorden
in een afgesloten geschiedenis, poëzie in de afgeknepen wapenhandel.

Wie kwam op het idee om midden in de oorlog aan
verjaardagen te denken? Het ratjetoe aan stijlen en vormen
hier slaat de architectuur dood. Staand op een brug over de Spree
geef ik mijn mededogen op. De geschiedenis wordt als
een wapensysteem in de vorm van straaljagers afgeleverd
bij iedereen die weet wat angst is, overleeft in alle koersen.
Berlin Sunrise van Fink doet me denken aan een zwerm
duiven, scherven zon. Zo een ochtend te beleven aan
de Spree.

Ik kan geen poëzie lezen met een mond vol chocola.









BERLIN PROPOSAL

Neon dalam isolasi cahaya, dinding membatalkan
bangunan, tubuh yang dibatalkan dari binatang. Berlin,
Paris, London -- membatalkan peta-peta modernisme
-- Moskow, Zurich, New York, aku batalkan antara Perang
Dunia I, antara surealisme, Dada -- roti yang membatalkan
ladang gandum -- ekspresionisme, ah Marxisme. Kau
dengarkah suara mesin pembatalan yang tercetak tebal.
Agak tebal dan semakin tebal: Siapa pengarang perang
dengan sebuah pistol dalam filsafat, penghancuran
makna dalam puisi, aku batalkan. Siapa yang membuat
ledakan di dalam ledakan, permainan kanan dan kiri,
aliran rekening-rekening gelap ke Zurich. Ideologi di bawah
ladang-ladang minyak, batu bara, uranium, membatalkan
industri kematian. Siapa pengarang Perang Dunia ke II,
aku batalkan Moskow-New York yang keluar masuk dalam
jahitan yang membelah sebuah kota. Mengirim kontainer-
kontainer pop-art, generasi bunga, post-modernisme ke
seluruh ladang-ladang konsumerisme. Menghibur jutaan
mayat dalam museum-museum pembesaran sejarah.
Menyesatkan waktu di bawah reruntuhan monumen-
monumen penggelapan. Gudang kesunyian Hesse yang
membatalkan potret bunuh diri Monroe. Siapa pengarang
Timur dan Barat, aku batalkan. Kata dalam isolasi sejarah,
puisi dalam isolasi perdagangan senjata.
Siapa yang mengarang ulang tahun di dalam perang?
Konstruksi yang menarikan arsitektur kehancuran, aku
batalkan kemanusianku di atas sungai Spree. Sejarah
sebagai senjata yang dikirim melalui pesawat-pesawat
tempur ke dalam setiap jiwa yang takut, bertahan dalam
setiap gempuran mata uang. Berlin Sunrise dari Fink,
seperti burung-burung dara, mengumpulkan serpisahan-
serpihan matahari. Membuat sebuah pagi di atas sungai
Spree.

Aku tidak bisa membaca puisi dengan coklat dalam
mulutku.











 

 

 




index